Mars PIJAR Indonesia
Dengan semangat PIJAR Indonesia kita maju bersama. Dengan aksi reformasi tegakkan demokrasi. Hilangkan ketakutan, hilangkan ketakutan hancurkan hantu di kepala. Bersama PIJAR Indonesia lawan penindasan.....
Posted on 16.37

Pemerintahan SBY Masih Tunduk Kepada Kepentingan Asing

Filed Under () By PIJAR Indonesia

Oleh: Andee - Indymedia Jakarta

Pemerintah inkonstitusional

Pertamax dan elpiji diklasifikasikan oleh pemerintah bukan merupakan hajat hidup orang banyak, sehingganya menurut asumsi pemerintah, harga kedua elemen migas tidak harus terjangkau oleh rakyat pada umumnya. Padahal kita semua tahu sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 dan keputusan MK tentang Migas belum lama ini tidak mengijinkan adanya kenaikan harga migas dan listrik bagi rakyat. jika UUD telah dilanggar maka pemerintahan saat ini adalah pemerintahan inkonstitusional

Pertamax dan elpiji diklasifikasikan oleh pemerintah bukan merupakan hajat hidup orang banyak, sehingganya menurut asumsi pemerintah, harga kedua elemen migas tidak harus terjangkau oleh rakyat pada umumnya. Padahal kita semua tahu sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 dan keputusan MK tentang Migas belum lama ini tidak mengijinkan adanya kenaikan harga migas dan listrik bagi rakyat. jika UUD telah dilanggar maka pemerintahan saat ini adalah pemerintahan inkonstitusional.

Belum genap 100 hari pemerintahan SBY berkuasa tetapi tanpa terduga sudah ada gelombang demonstrasi yang dilakukan oleh elemen masyarakat dan mahasiswa. Itu semua dikarenakan kebijakan dari pemerintahan SBY menaikan harga BBM. Pertamina menaikkan harga jual dua produk bahan bakar minyak (BBM) oktan tinggi serta harga elpiji. Kenaikan yang signifikan, yaitu harga elpiji naik 41,6% per kg, sedangkan pertamax naik 63,2% per liter, dan pertamax plus naik 52,7% per liter.

Pengumuman kenaikan harga itu dilakukan pada Sabtu (18/12) dan mulai berlaku Minggu (19/12). Sontak kenaikan ketiga elemen BBM tersebut menimbulkan gelombang demonstrasi dan penolakan. Tak hanya mahasiswa yang bersuara lantang, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), ibu-ibu rumah tangga, bahkan para selebritis ikut turun ke jalan memprotes kebijakan pemerintah yang dinilai sangat memberatkan masyarakat tersebut. Padahal, kenaikan harga BBM itu dapat diproyeksikan sebelumnya. Kenaikan harga minyak dunia dan semakin tingginya subsidi, menyebabkan pemerintah tidak memiliki solusi lain kecuali menaikkan harga BBM.

Bahkan, aksi demo yang digelar beberapa kelompok mahasiswa di Jakarta dan beberapa daerah lainnya tak hanya memprotes rencana kenaikan harga BBM. Mereka juga meminta presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mundur dari jabatannya karena dinilai tak lagi berpihak kepada rakyat sesuai janji-janji dalam kampanyenya menjelang pemilihan presiden beberapa waktu lalu.

Selain SBY yang diminta mundur dari jabatannya, Koalisi Masyarakat Anti Kenaikan Harga, yang terdiri dari Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (APHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Indonesia (PBHI, Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), LBH APIK, ICEL dan Urban Poor Consorsium (UPC), juga meminta Menko Perekonomian Aburizal Bakrie dan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro untuk mundur dari jabatannya.

Itu semua dikarenakan, menurut Koalisi Masyarakat Anti Kenaikan Harga, Aburizal Bakrie dianggap lebih berpihak kepada kelompok swasta sehingga tidak menyadari bahwa dirinya saat ini merupakan seorang Menteri Koordinator yang sudah sepatutnya berpihak kepada masyarakat, begitu pula terhadap Purnomo Yusgiantoro yang dianggap bersikap seperti layaknya seorang direktur perusahaan asing dan tidak bersikap sebagai pembela kepentingan rakyat.

Memang problem yang selama ini terjadi, setiap kali harga BBM naik, otomatis diikuti kenaikan harga-harga lainnya. Hal ini sangat memberatkan masyarakat.

Imbas dari kenaikan harga BBM tersebut memang sangat terasa dikalangan Ibu Rumah Tangga, karena kenaikan harga BBM tersebut berdampak dengan kenaikan beberapa harga kebutuhan pokok, walaupun Menteri Koordinator Ekuin Aburizal Bakrie mengatakan bahwa kenaikan beberapa harga kebutuhan pokok itu bukanlah imbas dari kenaikan harga BBM akan tetapi lebih dikarenakan menghadapi hari Natal dan Tahun Baru.

Selain dari itu, Pemerintah menyatakan tidak ikut campur menyangkut kenaikan gas elpiji dan pertamax. Naiknya harga elpiji dan pertamax sepenuhnya merupakan kebijakan Pertamina dan pemerintah tidak lagi mengontrol harga kedua bahan tersebut.

Menko Perekonomian Aburizal Bakrie menegaskan, pemerintah tidak ikut campur lagi mengenai kenaikan harga bahan bakar elpiji dan pertamax. Mengingat pemerintah tidak memiliki kebijakan untuk mengontrol harga kedua bahan bakar tersebut. Pemerintah hanya mengontrol harga untuk minyak tanah, solar dan premium. Kontrol untuk elpiji dan pertamax sepenuhnya dilakukan oleh Pertamina.

Aburizal menegaskan, pemerintah tidak mungkin kembali lagi ke sistem lama dengan mengontrol kembali untuk harga pertamax dan elpiji. Menaikkan harga BBM merupakan keharusan bagi pemerintah.

Yang belum muncul ialah kemampuan pemerintah meyakinkan publik, bahwa di satu pihak harga dinaikkan, tetapi di lain pihak, uang negara juga diselamatkan dengan melibas korupsi. Sebagian masyarakat kaget dan tidak siap. Jika kenaikan harga BBM menuai demo di mana-mana kepada Pemerintah, karena memang harga BBM ditetapkan oleh Pemerintah.

Ketua Umum SPSI yang juga merupakan kader PDIP meminta seharusnya sebelum kenaikan harga BBM terjadi, seharusnya sudah ada kenaikan dari upah minimum terlebih dahulu, sehingga tidak terjadi kegoncangan dikalangan masyarakat.

“Upah minimum yang ada saat ini saja belum mencukupi kebutuhan hidup minimum ditambah kenaikan harga BBM, bagaimana mau menikmati jika ada kenaikan upah minimum nantinya, ini akan semakin menyulitkan para pekerja dan keluarganya” jelas Jacob.

Jacob juga menampik adanya hubungan antara naiknya harga BBM dengan posisi Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Golkar yang baru.

“Tidak ada itu, tidak ada konspirasi, saya juga telah mengerti bahwa BBM ini harus naik akan tetapi kenaikan jangan terlalu tinggi dan seharusnya dilakukan setelah upah minimum regional yang baru ditetapkan, dan sepertinya Maret adalah bulan yang lebih tepat untuk menaikan harga BBM” ucap Jacob.

Pemerintah memang menghadapi pilihan yang amat sulit. Kalau BBM tak dinaikkan, subsidi akan membengkak terus, dan terus menggerogoti kas negara. Namun kebijakan pemerintahan SBY-Kalla menaikkan harga BBM pada saat ini mengundang tanda tanya besar karena bisa dinilai tak lagi berpihak pada rakyat yang mendukungnya.

Namun kenaikan tersebut menurut Abdullah Sodik dari Serikat Pekerja Pertamina dapat dielakkan, itu lebih disebabkan saat ini Pertamina merupakan sebuah persero dimana prinsip dasar persero itu adalah mencari profit (untung), jika dahulu masih berupa BUM, Pertamina hanya mencari nirlaba walaupun harus mencari profit juga.

“Pertamina menaikkan harga jual elpiji dan BBM Pertamax dan Pertamax plus adalah untuk menekan kerugian, yang jelas Pertamina harus menyesuaikan agar tidak gulung tikar sebab itu hanya akan menguntungkan investor-investior asing ” ujarnya.

Dengan harga lama, Pertamina rugi dari elpiji sekitar Rp1 triliun per tahun serta dari Pertamax dan Pertamax plus sekitar Rp500 miliar per tahun. Dinaikkannya harga tersebut agar Pertamina sebagai perusahaan (persero) menjadi sehat dan meraih profit.

Akan tetapi yang paling mencolok adalah suburnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta inefisiensi yang terjadi untuk kurun waktu yang panjang di tubuh Pertamina. Jika hal-hal buruk itu dapat dibasmi, Pertamina kiranya tidak perlu menaikkan harga jual setinggi sekarang.

Yang paling gampang dilakukan untuk meraih profit adalah menaikkan harga jual. Paling gampang, tetapi mestinya inilah pilihan yang paling terakhir karena menambah beban masyarakat. Yang paling sulit dilakukan adalah menaikkan profit dengan membasmi KKN dan meningkatkan efisiensi. Inilah yang terus dituntut masyarakat, dan ke sinilah mestinya Pertamina berlabuh.

Dalam kondisi bangsa dan masyarakat yang belum kondusif, pemerintah memang dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam mencari alternatif sumber pemasukan keuangan negara yang sebisa mungkin tidak menambah beban masyarakat. Sebab kalau tetap memaksakan atau memberlakukan kebijakan yang tidak populer seperti menaikkan harga BBM, bukan tidak mungkin akan muncul masalah baru.

Ketua PBHI, Johnson Panjaitan menjelaskan saat ini telah terjadi manipulasi politik dari pemerintah, menurut Johnson manipulasi tersebut adalah saat ini pemerintah mencabut subsidi sektor migas yang merupakan bagian dari hajat hidup orang banyak , akan tetapi Johnson menambahkan pemerintah tetap mensubsidi sektor perbankan yang jumlahnya jauh lebih besar yaitu 40 trilyun, sedangkan sektor migas hanya 19 trilyun.

“Jadi dapat dikatakan bahwa pemerintah lebih berani kepada rakyat karena lebih mudah ditipu atas nama rakyat miskin dan subsidi negara yang disebutkan cukup besar oleh pemerintah. Daripada menghadapi perampok-perampok di Bank kita. Padahal yang harus menanggung atas perbuatan perampok itu adalah rakyat juga. jadi apa yang diungkapkan oleh Menko itu adalah cerminan dari seseorang yang seharusnya dipecat sebab inkonstitusional” jelas Johnson.

Senada dengan Johnson, Ketua Umum PIJAR Indonesia, Ario Adityo yang lebih dikenal dengan panggilan Inyo, menegaskan bahwa Kebijakan pemerintah untuk menaikan harga BBM dikarenakan melonjaknya harga minyak dunia sehingga ada defisit dari APBN, adalah merupakan sebuah alasan yang mengada-ada sebab menurutnya untuk menutupi defisit tersebut sesungguhnya masih banyak sektor lainnya seperti dengan mengusut tuntas kasus-kasus korupsi dimasa lalu dan menyita harta koruptor untuk dijadikan sebagai subsidi bagi rakyat.

“Dengan perbandingan subsidi BBM dan Perbankan yakni sebesar 19 trilyun untuk BBM dan 40 trilyun bagi Perbankan jelas sekali menunjukkan bahwa pemerintah pada dasarnya tidak perduli dengan perekonomian kecil dan menengah. Paradigma holistic seperti inilah yang seringkali menjerumuskan nasib sebuah negara dalam krisis yang berkepanjangan ketika menyerahkan sistem ekonominya secara bulat-bulat kepada pasar internasional, dapat dikatakan saat ini Indonesia tidak berdikari serta tidak merdeka dalam mengelola tatanan ekonominya sendiri” papar Ario.

Pemerintahan SBY dimata Ario terlihat masih tunduk kepada kepentingan asing dengan melakukan kebijakan mengurangi subsidi bagi BBM, Ario menjabarkan jika IMF dan badan dunia lainnya memandang subsidi bagi BBM merupakan sebuah pemborosan padahal yang terjadi adalah jika subsidi terhadap BBM terus berjalan maka akan menyulitkan privatisasi terhadap sektor-sektor publik yang lain.

”UU Migas yang ada saat ini secara keseluruhan tampaknya akan banyak mengundang pihak-pihak asing untuk datang ke Indonesia. Sehingga sekor-sektor pertambangan yang lain yang merupakan hajat hidup orang banyak sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 akan berpeluang terprivatisasi. Pembayaran hutang luar negeri yang masih menghiasi RAPBN 2005 juga sangat menjadi tidak rasionil mengingat hutang-hutang tersebut dinikmati oleh kalangan atas dalam hal ini pengusaha dan pejabat dan pembayarannya mengorbankan kepentingan rakyat secara keseluruhan” jelas Inyo.

0 komentar